Penderitaan Menumbuhkan Iman Yang Teguh Kepada Tuhan.

Tidak ada seorangpun manusia dari sejak lahir ke dunia ini hingga meninggal dunia selalu mengalami sukacita di dalam hidupnya. Demikian juga sebaliknya, tidak ada seorangpun manusia dari sejak lahir hingga meninggal senantiasa mengalami dukacita di dalam hidupnya. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu pengalaman hidup manusia, pahit dan manis, susah dan senang, sukacita maupun dukacita itulah yang datang dalam hidup manusia secara silih berganti. Sukacita dan dukacita telah menjadi bagian hidup manusia itu sendiri yang harus dialami dan dilalui. Pengalaman hidup seseorang dalam penderitaan jika dibarengi dengan akan iman kepercayaan kepada Tuhan akan membentuk karakter seseorang dan membuahkan yang baik. Demikian halnya dalam Firman Tuhan yang menyapa kita pada saat ini.  Pengalaman menjalani penderitaan yang berat dalam waktu yang amat panjang telah membentuk pandangan Ayub tentang Allah dan mengubah sikapnya. Perubahan sikap merupakan suatu yang sangat penting dalam pandangan Allah. Mungkin perubahan sikap inilah yang menjadi tujuan Allah melalui keputusan Allah membiarkan Ayub menghadapi pencobaan berat yang diprakarsai oleh si iblis. Dan setelah tujuan tersebut tercapai, tibalah waktunya bagi Allah untuk memulihkan keadaan Ayub.
Saudara-saudara yang terkasih dalam Yesus Kristus...
Penderitaan adalah merupakan suatu ujian dalam kehidupan orang yang percaya. Ujian yang dilalui seorang Ayub menghasilkan perubahan dramatis dalam kehidupannya. Di masa lalu, Ayub hanya mendengar tentang Allah, setelah menghadapi, menjalani dan melalui segala pencobaan yang berat Ayub telah melihat dan merasakan betapa luar biasanya perbuatan Allah terhadap dirinya yang sedang menghadapi ujian ataupun pencobaan! Mendengar tentang Allah dan perbuatan-Nya, itu adalah sesuatu hal yang diwariskan secara turun menurun, tetapi jika iman timbul dari sebuah pengalaman hidup itulah iman yang berharga dan yang sejati akan pengenalan kita tentang Allah yang kita sembah.  Iman seperti inilah yang tulus dan mendekatkan kita kepada Allah. Ayub mengetahui percis bahwa dalam segala hal, kehendak Allahlah yang jadi. Kita juga ingat, perkataan Tuhan Yesus dalam doa-Nya, di Taman Getsemani: “Bukan kehendak-Ku, kehendak-Mu jadilah”. Tetapi Ayub tidak mengerti apakah kehendak Allah yang terjadi pada dirinya: Lalu timbul pertanyan dalam dirinya, mengapa orang-orang benar harus mengalami penderitaan yang demikian hebat? Ayub, menggemakan seruan-seruan dan meratap: “Demi Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan hatiku”. Ujian yang paling berat yang dihadapi Ayub, bukanlah segala musibah yang ia hadapi satu demi satu, tetapi adalah kepedihan hatinya.
     Ujian yang dialami Ayub, sungguh sangat berat dan pedih, namun ia tetap berusaha dan berjuang untuk tetap hidup bahkan berjuang dengan keras untuk memenangkan pencobaan yang dia hadapi. Biasanya, ketika kita mengalami penderitaan, seringkali kita berusaha membuat pelarian, padahal pelarian merupakan kedidak mampuan kita dalam menghadapi kenyataan hidup. Penderitaan adalah merupakan proses pematangan iman dan waktu untuk bercermin. Kita harus senantiasa mengikuti teladan iman Ayub yang tetap bertahan hingga akhir dan ia menang. Mari kita dengan sadar merenungkan kehendak Allah yang merancang dengan baik segala sesuatu untuk kebaikan bagi kehidupan orang yang percaya kepada-Nya. Apabila kita dapat melakukannya, iman kita akan berpaling dari iman yang diwariskan (mendengar ajaran) kepada iman yang tumbuh dari pengalaman merasakan perbuatan dan karya  Allah dalam kehidupan kita (nyata dan dialami), sehingga kita menjadi dewasa dalam iman.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Yesus Kristus, Tuhan dan Juruslmat kita...
Belajar untuk berbicara, membutuhkan waktu mungkin selama 2 – 3 tahun. Tetapi belajar untuk menjaga perkataan membutuhkan waktu selama-lamanya, selama kita masih hidup. Kita telah mengetahui bahkan sering mendengarkan ungkapan ini: “Mulutmu, adalah harimaumu”.  Perkataan ini mengingatkan kita agar senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Kiranya apa yang kita ungkapkan boleh berguna bagi orang lain yang mendengarnya. Sekalipun Ayub marah kpd Tuhan atas penderitaan yg menimpa hidupnya, namun Ayub tetap memegang Kebenaran yg dia terima dari Tuhan bahwa Tuhan mengasihinya yang walaupun Tuhan membiarkan dia berada dalam lembah kekelaman. Itulah yg memberikan kekuatan kepada Ayub untuk dapat bertahan dan menang.
     Bibir memang kecil, tapi walaupun kecil sangat berbahaya. Tanpa kontrol dan kendali, kadang ia mudah saja mengeluarkan kata-kata yang tidak membangun dan bisa membuat orang lain tersinggung. Dalam Amsal 18: 21 dikatakan: “Hidup dan mati  dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya”. Bibir dari orang yang suka berbicara terlalu banyak mudah sekali menimbulkan cemooh, perbantahan, perkelahian, fitnah, sampai akhirnya menjerat nyawanya sendiri. Sebab itu, kita harus berhati-hati dengan mulut, bibir dan lidah kita. Mungkin tanpa kita sadari, dengan perkataan, kita sedang membunuh karakter orang lain. Berbicara dengan baik dan bermakna adalah suatu hal yang penting, tetapi jika terlalu banyak berbicara namun perkataannya tidak bermakna itu adalah kesiasiaan. Barang siapa terlalu banyak berbicara, maka pada suatu saat orang tersebut pasti akan berbuat kesalahan atau akan mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang orang lain. Lebih baik banyak mendengar dari pada banyak berbicara, karena ketika kita mendengar maka kita akan menjadi orang yang berakal budi atau orang yang bijaksana ketika kita menahan bibir kita terhadap perkataan-perkataan yang tidak benar. Dalam Pengkhotbah 5: 1, Tuhan berfirman: “Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan dihadapan Allah, karena Allah ada disorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu biarlah perkataan sedikit”.

       Kita harus meminta bimbingan dan arahan Yesus Kristus dalam Roh Kudus, agar senantiasa memiliki kemampuan untuk penguasaan dan pengendalian diri yang tinggi dan bisa terhindar dari perkataan yang sia-sia. Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa seringkali masalah yang terjadi karena kesalahan kita sendiri. Karena kita membuka mulut pada saat yang tidak tepat, dengan cara yang tidak tepat, bahkan dengan kata-kata yang tidak tepat dan akhirnya mendapatkan sesuatu yang tidak tepat. Lebih baik diam dan membiarkan orang lain menganggap anda orang yang bodoh daripada mengucapkan banyak berbicara tetapi tidak mempunyai arti. Biasanya orang yang sedikit berbicara dianggap lebih bijaksana dari mereka yang banyak berbicara. Amin.

Dibuat dan dikirim kepada:  Leo Sibarani, salah seorang mahasiswa di Jakarta, untuk dikhotbahkannya pada hari Selasa, tanggal 01 Maret 2016. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini